Keluarga
Dan Hubungannya dengan Sosialisasi pada Anak
Menurut
Megawangi (1999) ada tiga elemen struktur internal keluarga, yang salah satunya
mengacu pada fungsi sosial. Dalam hal ini, digambarkan oleh peran dari
masing-masing individu atau kelompok berdasar status sosial dalam suatu sistem
sosial (misal anak, ayah dan ibu). Artinya, setiap status sosial tertentu
harapannya dalam interaksi dengan individu/kelompok akan ada fungsi dan peran,
yang didasarkan bukan pada ciri pribadi individu melainkan karena status sosial
yang dipegangnya. Semisal saja, anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan
patuh pada orangtua dan sebaliknya orangtua berkewajiban juga memberikan cinta,
perhatian dan kasih sayang pada anaknya. Hal ini sejalan dengan apa yang
ditulis Parson & Bales (1955) dalam Megawangi (1999), bahwa orangtua
mempunyai dua peran, yaitu
1)
Instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dan
2) Peran
emosional/ekspresif, yang biasanya disandang oleh seorang ibu/istri.
Kedua peran
tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga merupakan intsitusi dasar
(fundamental unit of society) dalam rangka membentuk individu bertanggung
jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus
kepada anak-anaknya.
Sedang bila
dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam melaksanakan
proses sosialisasi. Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah
sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang lebih
besar.Sama halnya dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI no.21
tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah satu
fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu fungsi
yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa
melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya dimasa yang akan datang.
Sosialisasi
merupakan suatu proses dimana seseorang mempengaruhi orang lain karena adanya
interaksi. Untuk perkembangan sosial anak akan sangat dipengaruhi siapa agen
sosialnya. agen sosial yang terpenting adalah orang-orang yang saling
berhubungan dan dapat mempengaruhi bagaimana orang tersebut berperilaku,
temasuk di sini adalah orangtua, saudara kandung (sibling) atau kelompok
bermain (peer); selain itu nenek/kakek, paman/bibi dan orang dewasa lain dalam
masyarakat sebagai jaringan hubungan yang lebih luas. Setiap agen sosial
tersebut akan menentukan perbedaan dalam proses sosialisasi anak. Oleh karena
itulah untuk menghasilkan individu-individu yang berkualitas baik, keluarga
amat berperan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku
atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka yang dimulai dari
masalah-masalah kecil yang terjadi dalam keluarga sesuai dengan tahap
perkembangan usia anak tentunya. Praktek pengasuhan merupakan masa penting
dalam membentuk individu matang dan dewasa, yang didalamnya telah mencakup
proses sosialisasi.
Cara yang
dapat dilakukan keluarga dalam proses sosialisasi adalah sebagai berikut:
Pertama, pengkondisian/pelaziman. Karena kita tahu dan tidak dapat disangkal
lagi bahwa anak ialah manusia yang pasif sepenuhnya dalam sosialisasi, sehingga
hal-hal yang berkaitan dengan sebagian besar sikap dan tingkah lakunya
dilakukan sebenarnya melalui proses ini, yang diciptakan oleh orangtua atau
anggota keluarga lain yang telah dewasa dengan pemberian mekanisme hukuman atau
imbalan; semisal, makan, minum, mandi, berpakaian, buang air besar/kecil
(toilet training) bahkan bertutur kata sekalipun. Dengan diberikannya mekanisme
tersebut anak akan mempertahankan tingkah laku tertentu bila apa yang
dilakukan/diperbuat (baik) dapat imbalan. Sebaliknya anak akan menghindari
tingkah laku tertentu bila ternyata apa yang diperbuat (buruk) akan mendapat
hukuman.
Kedua,
pemodelan (pengimitasian dan pengindentifikasian). Cara imitasi biasanya
berlangsung dalam waktu singkat untuk sekedar meniru aspek luar dari
tokoh/model yang diidealkannya. Sebaliknya, jika anak menginginkan dirinya sama
(identik) dengan tokoh idolanya maka peniruan akan terjadi lebih mendalam
karena tidak hanya peniruan tingkah laku tapi juga totalitas dari tokoh atau
model tersebut (identifikasi) sehingga di sini orangtua (keluarga) perlu
memberi contoh perilaku yang baik bagi anaknya.
Dan ketiga,
internalisasi yaitu cara yang mempersyaratkan anak (dengan sukarela) untuk
menyadari bahwa sesuatu hal, seperti norma, nilai dan tingkah laku memiliki
makna tertentu yang berharga bagi dirinya atau bagi masyarakat kelak untuk
dijadikan panutan, pedoman atau tindakan yang lama kelamaan hal tersebut akan
menjadi bagian dari kepribadiannya, semisal anak dicontohkan dengan
perbuatan-perbuatn yang dilarang agama atau yang tidak diharapkan masyarakat
pada umumnya.
Anak sebagai
bagian anggota keluarga dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak akan
terlepas dari lingkungan dimana dia dirawat/diasuh atau awal diperolehnya
pengalaman belajar bagi seorang anak. Dalam keluargalah kali pertama anak
berinteraksi terutama dengan ibunya setelah anak dilahirkan dan melalui
kegiatan menyusui. Hubungan ini akan berkembang sesuai tahapan usia anak. Dari
sinilah anak akan dan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri melalui
pengalaman belajar agar diterima di lingkungan sosial dan menjadi pribadi yang
dapat bermasyarakat; dengan syarat punya kesempatan untuk berhubungan dengan
orang lain (sosialisasi), mampu berkomunikasi dan berbicara yang dapat diterima
(dimengerti) orang lain dan memiliki motivasi belajar yang menyenangkan. Untuk
hal ini diperlukan suatu dukungan orang lain, karena pengalaman sosial dini
kali pertama diperoleh di dalam rumah maka keluargalah yang paling tepat menentukan
terjadinya proses sosialisasi pada anak.
Karena
keluarga berfungsi untuk menjaga dan menumbuh-kembangkan anggotanya, maka
diperlukan orangtua yang bijaksana, sebab sikap orangtua akan mempengaruhi cara
mereka memperlakukan anak dan mempengaruhi perilaku anak. Pada dasarnya
hubungannya orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua, dimana hal ini juga
diperoleh melalui pengalaman belajar sebelumnya dari orangtua mereka.
Kesibukan
Orangtua
Sesibuk
apapun orang tua perlu memiliki waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Jangan
sampai hanya bersemangat ketika ingin mendapatkan anak tetapi tidak bersemangat
dalam memperhatikan anak-anaknya.
Jika kedua
orang tua bekerja semua, orang tua dapat menggunakan waktu bersama-sama anak,
misalnya: pada sore hari atau malam hari setelah kedua orang tua pulang dari
bekerja. Orang tua yang bijaksana tentu bisa mengatur waktu untuk urusan
pekerjaan dan urusan rumah tangganya.
Setelah
pulang kerumah orang tua jangan memikirkan pekerjaannya yang ada dikantor
secara terus menerus, namun harus lebih memfokuskan perhatiannya terhadap
sesuatu yang ada dirumah, khususnya memperhatikan anak-anaknya. Tentu bukan hanya
sekedar bertemu dengan anak, namun kualitas pertemuan dengan anak itu yang jauh
lebih penting.
Setiap
anak-anak memiliki kebutuhan yang harus diperhatikan oleh orang tua, kebutuhan
tersebut dapat diberikan oleh orang tua baik ketika berada di tempat pekerjaan
maupun setelah berada dirumah.