Senin, 13 Juni 2016

BAHASA DAN BUDAYA



BAHASA DAN BUDAYA

Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar personal. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolute yaitu selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa Banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi.
Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Fenomena lain, misalnya budaya Inggris dan budaya Indonesia dalam memandang waktu sehari semalam yang 24 jam. Pukul satu malam budaya Inggris mengatakan Good morning alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat malam karena memang masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang, budaya barat masih juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengucapkan selamat siang karena memang hari sudah siang, matahari sudah tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata “butuh” dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan.
Demikian pula dalam bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka.
Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.
Orang Bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan “Neng” sedangkan panggilan itu biasanya untuk anak perempuan atau wanita muda di Bandung. Sedangkan orang Makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio. Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).
Begitu juga bahasa Jawa sebagaimana disebutkan Abdul Wahab, yang ada kaitannya dengan kelapa. Dalam bahasa Jawa kita mengenal janur (daun muda kelapa), blarak (daun tua kelapa), sada (lidi atau tulang daun kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah (sekumpulan lidi untuk menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar (srangkaian kuntum bunga kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa yang masih sangat muda dan belum berair), cengkir (buah kelapa muda bertulang tempurung lunak tapi belum berdaging), degan (buah kelapa muda yang sudah bedaging lunak), krambil (kelapa yang sudah tua dan dapat dipakai sebagai bahan minyak goreng), glugu (batang kelapa sebagai bahan bangunan). Uraian di atas menunjukan bahwa tak diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya.
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa atau daerah tertentu adalah untuk membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada.

PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN BAHASA
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tuna susila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus, kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan, pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda mengatakan bahwa bahasa yang diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan menjadi lontong, reformasi diplesetkan menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu juga dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to school.


DAFTAR PUSTAKA
Bainar, Hajjah, dkk 2006.. Ilmu Sosial, Budaya dan Kealaman Dasar. Jakarta: Jenki Satria.

Khaer, Abdul dan Leonia Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Khaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Lewis, Bernard. 1988. Bahasa Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Sapir, Edward. 1921. Language. Ottawa: Harc curt, Brace and World Inc.

Valdman, Albert. 1966. Trends in Language Teaching. USA: Indiana University Press.

Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara


EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...