BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh
para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar personal. Komunikasi
selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut
pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolute yaitu selalu ditentukan
oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat
dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak
pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh
budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa
bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya
masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa
itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk
kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk;
dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa Banjar disebut iwak.
Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan
nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya
dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal
nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras,
gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada
konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi.
Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris,
maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya
makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata
saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya
Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang
lebih muda disebut adik. Maka itu brother
dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti
adik.
Fenomena lain, misalnya budaya Inggris dan budaya
Indonesia dalam memandang waktu sehari semalam yang 24 jam. Pukul satu malam
budaya Inggris mengatakan Good morning
alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat malam karena
memang masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang,
budaya barat masih juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia
mengucapkan selamat siang karena memang hari sudah siang, matahari sudah
tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari
kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan
status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau
memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata “butuh” dalam masyarakat
Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di
Kalimantan berarti kemaluan.
Demikian pula dalam bahasa jawa terdapat tingkat tutur
ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku, kulo, dalem
kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka.
Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak
antara orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang
memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya
adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang
menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.
Orang Bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan
“Neng” sedangkan panggilan itu biasanya untuk anak perempuan atau wanita muda
di Bandung. Sedangkan orang Makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang
tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio. Seperti
dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur
yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi
orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).
Begitu juga bahasa Jawa sebagaimana disebutkan Abdul
Wahab, yang ada kaitannya dengan kelapa. Dalam bahasa Jawa kita mengenal janur
(daun muda kelapa), blarak (daun tua kelapa), sada (lidi atau tulang daun
kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah (sekumpulan lidi untuk
menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar (srangkaian kuntum bunga
kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa yang masih sangat muda dan
belum berair), cengkir (buah kelapa muda bertulang tempurung lunak tapi belum
berdaging), degan (buah kelapa muda yang sudah bedaging lunak), krambil (kelapa
yang sudah tua dan dapat dipakai sebagai bahan minyak goreng), glugu (batang
kelapa sebagai bahan bangunan). Uraian di atas menunjukan bahwa tak diragukan
lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya.
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa
atau daerah tertentu adalah untuk membatasi cara-cara berpikir dan pandangan
bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup.
Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan
faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat
mereka berada.
PENGARUH
BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN BAHASA
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita
saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata
atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat,
tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme,
kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk
mengganti kata piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil.
Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu
diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu
diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan
pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga
pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan
menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tuna susila adalah karena kata-kata
tersebut dianggap halus, kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses
penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai
dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas
dari perkembangan pengetahuan, pertukaran budaya, dan kemajuan informasi
sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda mengatakan bahwa bahasa yang
diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan pemakai bahasa untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa,
tolong diplesetkan menjadi lontong, reformasi diplesetkan menjadi repot nasi,
partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu juga dalam kalimat misalnya
I am going to school menjadi ayam goreng to school.
DAFTAR
PUSTAKA
Bainar, Hajjah, dkk 2006.. Ilmu Sosial, Budaya dan Kealaman Dasar. Jakarta: Jenki Satria.
Khaer, Abdul dan Leonia Agustina.
2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Khaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Lewis, Bernard. 1988. Bahasa Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya.
Sapir, Edward. 1921. Language. Ottawa: Harc curt, Brace and World Inc.
Valdman, Albert. 1966. Trends in Language Teaching. USA: Indiana University
Press.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Jakarta:
Desantara