Masyarakat Bahasa (Speech Community)
Masyarakat
bahasa adalah sekumpulan manusia yang menggunakan sistem syarat bahasa yang
sama Bloomfield (dikutip Nababan, 1991:5) pengertian masyarakat bahasa menurut
Bloomfield oleh para ahli sosisolinguistik dianggap terlalu sempit karena
setiap orang menguasai dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Sementara
menurut Corder (dikutip Aslinda & Syafyahya, 2007:8) mengatakan bahwa
masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang satu sama lain biasa saling
mengerti sewaktu mereka berbicara. Senada dengan pendapat Firshman (dikutip
Alwasilah, 1985:42) masyarakat bahasa adalah masyarakat yang semua anggotanya
memilih bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakainya
yang cocok.
Dari
pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa itu
dapat terjadi dalam sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama dan
sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan syarat di antara
mereka terjadi saling pengetian.
Untuk
dapat disebut masyarakat bahasa adalah adanya perasaan di antara penuturnya
bahwa mereka menggunakan bahasa yang sama (Djokokentjono 1982). Pada
pokoknya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual
intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode
linguistik secara terinci dalam aspek-aspeknya, yaitu system bunyi, sintaksis
dan semantick. Dalam saling pengertian itu ternyata ada dimensi
sosialpisikologi yang subyektif. Dalam setiap populasi ada terdapat banyak speech
community dengan demikian sudah barang tentu, adanya tumpang tindih
keanggotaan dan sistem kebahasaan. Ada tiga macam masyarakat ujaran (speech
community) yaitu:
- sebahasa dan saling mengerti
- sebahasa tapi tidak saling mengerti
- berbeda bahasa tapi saling mengerti
Dengan
catatan bahwa mereka yang saling tidak mengerti tapi sebahasa, adalah sangat
mungkin tadinya ‘sebahasa’ dan kedau bahasa itu bisa kita anggap sebagai varian
yang sudah mempunyai kemandirian. Kemudian yang berbeda bahasa tapi
saling mengerti, bisa kita anggap sebagi satu speech community karena
meraka mempunyai mutual intelligibility yang dalam sosialisasi merupakan
jaminan bagi terciptanya speech community dan komunikasi. Kalau
mereka saling mengerti walu berbeda bahasa itu adalah interaksi. Dua bahasa
yang berbeda ini bisa dianggap sebagai dua dialek atau varian (ragam bahasa)
bahasa yang sama.
Bahasa dan Tutur
Ferdinand
de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue,
dan parole. Ketiga istilah yang berasal bahasa Prancis itu, dalam bahasa
Indonesia secara tidak cermat, lazim, dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa.
Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya
memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage
digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara
sesama. Langage bersipat abstrak. Barang kali istilah langage
dapat dipadankan dengan kata bahsa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia
mempunyai bahasa, binatang tidak”
Istilah kedua dari langue dimaksudkan sebagi sebuah sitem lambang
bunyi yang diugnakan oleh sekelompok anggota masyarat tertentu untuk
berkomikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada
seistem lambang bunyi tententu yang digunakan oleh anggota masyarakat tertentu,
yang barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat
“Nita belajara bahasa Jepang, sedangkan Dika belajara bahasa
Inggis” langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage
adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki
manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan parole bersifat konkret, karena parole itu
merupakan pelaksana dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang
dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraki atau berkomunikasi
sesamnya. Parole disini barangkali dapat diapadankan dengan kata bahasa
dalam kalimat. Kalau beliau berbicaa bahasanya penuh dengan kata daripada
dan akhiran ken. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat
abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris.
Dari pembahasan di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa
Indoensia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang
berasal dari bahasa Prancis itu dapat dipandakan dengan satu kata bahasa itu,
meskipun harus dalam konteks yang berbeda. Beban konsep atau makna yang
ditangung kata bahasa itu, memang sangat berat, karena selaian menangung konsep
istilah langage, langue, dan parole itu juga menanggung konsep
atau pengertian lain. Perhatikan kalimat-kalimat berikut!
-
Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan
yang diambil tidak bertentangan.
-
Bahasa meliter tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan disana.
-
Nyatakanlah cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti akan lebih baik.
-
Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa
sang permaisuri telah tiada.
Keempat
kalimat di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, dan
parole. Yang pertama berarti kebijakan, pandangan; yang kedua berarti
‘cara’; yang ketiaga berati ‘alat komunikasi’ dan yang keempat berarti bahwa.
Sebagai
langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem
lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu
tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu,
meskikpun ada ciri-ciri keunivesrsalannya, bersifat terbatas pada suatu
masyarakat tertentu. Satu masyakat tentu memang agak sukar rumusannya;
namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligibility) barang
kali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya penduduk yang ada
di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan dilereng Gunung Salak, Bogor,
masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena meraka
masih dapat mengerti denga alat verbalnya. Bergitu juga penduduk yang berada di
Banyumas dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih
berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling
mengerti di antara mereka sesamanya.
Adanya
saling mengerti antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang
adalah karena adanya kesamaan sistem subsistem (fonologi, morfologi, sintaksi,
leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu
juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang dan Surabaya, mereka saling
mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam
parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Garut Selatan
dengan penduduk di Banyumas tidak ada saling mengerti secara verbal di atara
mereka sesamnya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara
penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem.
Ketiadaan kesamaan sistem dan subbsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini
yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menadai dan dua sistem langue
yang bebeda. Maka dalam kasus-kasus parole yang digunakan penduduk di
Garut Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah bahasa sistem langue,
yaitu bahasa Sunda di Garaut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Dengan
demikian kita menyebut dua prole dari dua masyarakat bebeda sebagai dua
bahasa yang bebeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal.
Penamaan ini adalah bedasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai
kasus ada ditemukan adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling mengerti,
tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan mana yang berbeda,
misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia
karen secara linguistik ada perasaan sistem dan sudsistem diantara
kedua prole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya
berbahasa Malasysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya bebahasa
Indonesia maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia
bukanlah bedasarkan kriteria linguistik, melainkan dengan kriteria politik
bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan digunakan di
Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Di
atas sudah dikemukanakan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut
Selatan, Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling
mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di atara parole
di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberadaan’ mereka masih terdapat
“kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat
itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret
lazim dikatakan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek
Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh di atas kita
menemukan bahasa Jawa Banyumas, bahasa Jawa dialek Semarang, dan bahasa Jawa
dialek Surabaya.
Setiap
orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa
(berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan
kata, penataan sintaksi, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lain. Itu lah
sebabnya, kalau kita akrab dengan seorang, kita akan dapat mengenali orang itu
hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnya tidak Nampak), atau hanya dengan
membaca tulisannya saja (namanya tidak tampak). Ciri khas seseorang disebut
dengan idiolek. Jadi, kalau ada 100 orang, maka akan ada 100 idolek.