Selasa, 10 Mei 2016

MASYARAKAT BAHASA, BAHASA DAN TUTUR


Masyarakat Bahasa (Speech Community)
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan manusia yang menggunakan sistem syarat bahasa yang sama Bloomfield (dikutip Nababan, 1991:5) pengertian masyarakat bahasa menurut Bloomfield oleh para ahli sosisolinguistik dianggap terlalu sempit karena setiap orang menguasai dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Sementara menurut Corder (dikutip Aslinda & Syafyahya, 2007:8) mengatakan bahwa masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang satu sama lain biasa saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Senada dengan pendapat Firshman (dikutip Alwasilah, 1985:42) masyarakat bahasa adalah masyarakat yang semua anggotanya memilih bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakainya yang cocok.
Dari pendapat para  ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bahasa itu dapat terjadi dalam sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama dan sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan syarat di antara mereka terjadi saling pengetian.
Untuk dapat disebut masyarakat bahasa adalah adanya perasaan di antara penuturnya bahwa mereka menggunakan bahasa yang sama (Djokokentjono 1982). Pada pokoknya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik secara terinci dalam aspek-aspeknya, yaitu system bunyi, sintaksis dan semantick. Dalam saling pengertian itu ternyata ada dimensi sosialpisikologi yang subyektif. Dalam setiap populasi ada terdapat banyak speech community dengan demikian sudah barang tentu, adanya tumpang tindih keanggotaan dan sistem kebahasaan. Ada tiga macam masyarakat ujaran (speech community) yaitu:
  1. sebahasa dan saling mengerti
  2. sebahasa tapi tidak saling mengerti
  3. berbeda bahasa tapi saling mengerti
 Dengan catatan bahwa mereka yang saling tidak mengerti tapi sebahasa, adalah sangat mungkin tadinya ‘sebahasa’ dan kedau bahasa itu bisa kita anggap sebagai varian yang sudah mempunyai kemandirian.  Kemudian yang berbeda bahasa tapi saling mengerti, bisa kita anggap sebagi satu speech community karena meraka mempunyai mutual intelligibility yang dalam sosialisasi merupakan jaminan bagi terciptanya speech community dan komunikasi.  Kalau mereka saling mengerti walu berbeda bahasa itu adalah interaksi. Dua bahasa yang berbeda ini bisa dianggap sebagai dua dialek atau varian (ragam bahasa) bahasa yang sama.

Bahasa dan Tutur
          Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim, dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi  dan berinteraksi secara verbal di antara sesama. Langage bersipat abstrak. Barang kali istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahsa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”
            Istilah kedua dari langue dimaksudkan sebagi sebuah sitem lambang bunyi yang diugnakan oleh sekelompok anggota masyarat tertentu untuk  berkomikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada seistem lambang bunyi tententu yang digunakan oleh anggota masyarakat tertentu, yang barangkali dapat dipadankan  dengan kata bahasa dalam kalimat “Nita belajara bahasa Jepang, sedangkan Dika belajara bahasa Inggis” langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
            Berbeda dengan parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksana dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraki atau berkomunikasi sesamnya. Parole disini barangkali dapat diapadankan dengan kata bahasa dalam  kalimat. Kalau beliau berbicaa bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris.
            Dari pembahasan di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indoensia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu dapat dipandakan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda. Beban konsep atau makna yang ditangung kata bahasa itu, memang sangat berat, karena selaian menangung konsep istilah langage, langue, dan parole itu juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan kalimat-kalimat berikut!
-          Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan.
-          Bahasa meliter tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan disana.
-          Nyatakanlah cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti akan lebih baik.
-          Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa sang permaisuri telah tiada.
Keempat kalimat di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, dan parole. Yang pertama berarti kebijakan, pandangan; yang kedua berarti ‘cara’; yang ketiaga berati ‘alat komunikasi’ dan yang keempat berarti bahwa.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi sebagai langue bahasa itu,  meskikpun ada ciri-ciri keunivesrsalannya, bersifat terbatas pada suatu masyarakat tertentu. Satu masyakat tentu memang agak sukar rumusannya; namun  adanya ciri saling mengerti (mutual intelligibility) barang kali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya penduduk yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan dilereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena meraka masih dapat mengerti denga alat verbalnya. Bergitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya kesamaan sistem subsistem (fonologi, morfologi, sintaksi, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang dan Surabaya, mereka saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Banyumas tidak ada saling mengerti secara verbal di atara mereka sesamnya. Hal ini terjadi karena parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan subbsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menadai dan dua sistem langue yang bebeda. Maka dalam kasus-kasus parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah bahasa sistem langue, yaitu bahasa Sunda di Garaut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Dengan demikian kita menyebut dua prole dari dua masyarakat bebeda sebagai dua bahasa yang bebeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah bedasarkan kriteria linguistik.  Namun, dalam berbagai kasus ada ditemukan adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan mana yang berbeda, misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karen secara  linguistik  ada perasaan sistem dan sudsistem diantara kedua prole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malasysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya bebahasa Indonesia maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah bedasarkan kriteria linguistik, melainkan dengan kriteria politik bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Di atas sudah dikemukanakan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di atara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “keberadaan’ mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatakan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh di atas kita menemukan bahasa Jawa Banyumas, bahasa Jawa dialek Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksi, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lain. Itu lah sebabnya, kalau kita akrab dengan seorang, kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja (orangnya tidak Nampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya tidak tampak). Ciri khas seseorang disebut dengan idiolek. Jadi, kalau ada 100 orang, maka akan ada 100 idolek. 

EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...