Diglosia
Salah satu mata kuliah yang paling saya sukai adaalah sosiolinguistik, salah satu cabang linguistik
yang yang memfokuskan hubungan dan pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku
sosial. Salah satu materi dalam sosiolinguitik adalah diglosia. Apa itu diglosia?
Mari kita bahas...
Kata
diaglosa berasal dari bahasa Prancis diglossie,
yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis; tetapi istilah ini
menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh sarjana dari
Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium
tentang “ Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar “ yang diselenggarakan oleh
American Anthropological Association di Washington DC. Furgon menggunakan
istilah diglosis untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua
variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai
peranan tertentu. Definisi
Furgon: (1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di
mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama ( lebih
tepat ragam-ragam utamja) dari satu
bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain;
(2) dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,
atau sebuah standar regional; (3) ragam
lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
- Sudah ( sangat ) terkodifikasi
- Gramatikalnya lebih kompleks
- Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
- Dipelajari melalui pendidikan formal
- Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
- Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun ) untuk percakapan sehari-hari
Diglosia
ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu
fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas,
gramatikal, leksikon, dan fonologi.
Fungsi
merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Furgon dalam
masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi bahasa
pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua
disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Distribusi fungsional
dialek T dsn dislek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya
dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R
yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan
fungsi R hanya pada situasi informal dan
santai.
Prestise.
Dalam masyarakat diglosis para penutur
biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih
terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap
inferior, malah ada yang menolak keberadaannya. Dalam masyarakat Melayu/
Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan
bahasa Melayu R, di mana yang pertama menajdi bahasa sekolah, dan yang kedua
menjadi bahasa pasar
Permasalahan
mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan
kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia
menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa daerah) dan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah disebut juga
sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa Indonesia
disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang seperti
itu disebut sebagai diglosia (Aslinda, dkk., 2007:26).
Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana
terdapat du variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan
mengetangahkan sembilan topic, yakni sebagai berikut.
1)
Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut
Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa.
Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan
yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2)
Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya
menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan
merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada
yang menolak keberadaannya.
3)
Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson
sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan
dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra
kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari
tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan
yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas)
menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-negara berbahasa
Arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis, dan bahasa Jerman.
4)
Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan
formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan
teman-teman sepergaulan.
5)
Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka
tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut
melalui kodifikasi formal.
6)
Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah
berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan
eksistensinya dalam masyarakat itu.
7)
Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan
sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R
dianggap artivisial.
8)
Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah
sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R,
atau sebaliknya.
9)
Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktural antara
ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Dari
penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah
persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu
bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai
peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung
kepada situasi.
Dalam
situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa
bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang
masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa,
di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa
rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma
(ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam
halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah),
krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan
diakui oleh masyarakat pemakainya.
Pakar
sosiologi, Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang
disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia
perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek
secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan
demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan
tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold
diglosia ganda dalam bentuk yang disebut
double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia (Chaer, 2004:98).
Double overlapping diglosia
adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda.
Misalnya saja dalam masyarakat Indonesia, pada suatu siuasi, bahasa Indonesia
adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah bahasa daerah. Pada
situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan bahasa T-nya adalah bahasa
Inggris. Jadi, bahasa Indonesia mempunyai status ganda.
Double-nested diglosia adalah keadaan
dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan,
satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa R
maupun T masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang juga diberi status R
atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa R dan bahasa T-nya
adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa
seperti basa krama yang diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R.
Dalam bahasa Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap T, dan ragam
non-baku dianggap ragam R.
Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya
tidak menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur. Misalnya saja,
masyarakat Cina di Indonesia. Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik,
bahasa Indonesia dianggap bahasa T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy
high) yang berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya terbatas, dan
bahasa Daerah termasuk ragam R.