Tuesday 10 May 2016

DIGLOSIA



Diglosia

Salah satu mata kuliah yang paling saya sukai adaalah sosiolinguistik, salah satu cabang linguistik yang yang memfokuskan hubungan dan pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Salah satu materi dalam sosiolinguitik adalah diglosia. Apa itu diglosia? Mari kita bahas...    
Kata diaglosa berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis; tetapi istilah ini menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh sarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang “ Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar “ yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington DC. Furgon menggunakan istilah diglosis untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi Furgon: (1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana  selain  terdapat sejumlah dialek-dialek utama ( lebih tepat  ragam-ragam utamja) dari satu bahasa, terdapat  juga sebuah ragam lain; (2) dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau  sebuah standar regional; (3) ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:

  • Sudah ( sangat ) terkodifikasi 
  • Gramatikalnya lebih kompleks 
  • Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati 
  • Dipelajari  melalui pendidikan formal
  •  Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal 
  •  Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun ) untuk percakapan sehari-hari

Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatikal, leksikon, dan fonologi.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Furgon dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi bahasa pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Distribusi fungsional dialek T dsn dislek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi  R hanya pada situasi informal dan santai.
Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur  biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya. Dalam masyarakat Melayu/ Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan bahasa Melayu R, di mana yang pertama menajdi bahasa sekolah, dan yang kedua menjadi bahasa pasar
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda, dkk., 2007:26).
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat du variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topic, yakni sebagai berikut.
1)        Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2)   Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3)  Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis, dan bahasa Jerman.
4)  Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5)   Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
6)  Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7)  Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artivisial.
8) Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9)  Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.

Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung kepada situasi.
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Pakar sosiologi, Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep  broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia (Chaer, 2004:98).
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Misalnya saja dalam masyarakat Indonesia, pada suatu siuasi, bahasa Indonesia adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah bahasa daerah. Pada situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia mempunyai status ganda.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan, satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa R maupun T masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang juga diberi status R atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa R dan bahasa T-nya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa seperti basa krama yang diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R. Dalam bahasa Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap T, dan ragam non-baku dianggap ragam R.
Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya tidak menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur. Misalnya saja, masyarakat Cina di Indonesia. Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik, bahasa Indonesia dianggap bahasa T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy high) yang berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya terbatas, dan bahasa Daerah termasuk ragam R.

EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...