Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa merupakan salah satu unsur
identitas nasional. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambangan yang secara
arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai
sarana berinteraksi manusia. Di Indonesia terdapat beragam bahasa daerah yang
mewakili banyaknya suku-suku bangsa atau etnis. Bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua
franca (bahasa pergaulan) di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah
Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan
ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap
istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu
Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di
sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit
karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa
Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat
kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda
berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya
dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi
Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan
bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung antar etnis yang mendiami
kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-suku, bahasa
melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan internasional di kawasan
kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan
para pedagang asing.
Telah dikemukakan pada beberapa
kesempatan, mengapa bahasa melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara
Indonesia yang merupakan suatu hal yang menggembirakan. Penamaan istilah
“bahasa melayu” telah dilakukan pada sekitar 683-686 M.
Dibandingkan dengan bahasa lain yang
dapat dicalonkan menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Jawa (yang menjadi
bahasa ibu bagisekitar setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan
bahasa yang kurang berarti. Di Indonesia, bahasaitu diperkirakan dipakai hanya
oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai diseberang
Sumatera. Namun justru karena pertimbangan itu jualah pemilihan bahasa jawa
akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan kedua, mengapa bahasa melayu
lebih berterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya secara fonetis dan
morfologis tetapi juga secara reksikal, seperti diketahui, bahasa jawa
mempunyai beribu-ribu morfen leksikal dan bahkan beberapa yang bersifat
gramatikal. Faktor yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa
melayu mempunyai sejara yang panjang sebagai ligua franca.
Dari sumber-sumber China kuno dan
kemudian juga dari sumber Persia dan Arab, kita ketahui bahwa kerajaan
Sriwijaya di sumatera Timur paling tidak sejak abad ke -7 merupakan pusat
internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara yang maju yang
perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India dan pulau-pulau
di Asia Tenggara. Bahasa melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak
Abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti
di kedukan bukit karangka tahun 683 M (palembang), talang tuwo berangka tahun
684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M (bukit barat), Karang Birahi
berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari
berbahasa melayu kuno.
Bahasa melayu kuno itu hanya dipakai
pada zaman sriwijaya saja karena di jawa tengah (Banda Suli) juga ditemuka
prasasti berangka tahun 832 M dan dibogor ditemukan prasasti berangka tahun 942
M yang juga menggunakan bahasa melayu kuno. Pada zaman Sriwijaya, bahasa melayu
dipakai sebagai bahasa kebudayaan , yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha.
Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di Nusantara.
Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa yang
digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara. Informasi
dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya,
antara lain menyatakan bahwa di Sriwijay ada bahasa yang bernama Koen Loen
(I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand, 1919),
Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun (parnikel, 1977 : 91), K’un-lun
(prentice 1978 : 19), yang berdampingan dengan sanskerta.
Yang dimaksud dengan Koen-Luen adalah
bahasa perhubungan (lingua franca) dikepulauan nusantara, yaitu bahasa melau.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelasa dari,
peninggalan-peninggalan kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah Fansuri,
hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama
islam diwilayah nusantara bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat
nusantara sebagai bahasa perhubungan antara pulau, antara suku, antara
pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal
tutur.
Pada tahun 1928 bahasa melayu mengalami
perkembangan yang luar biasa. Pada tahun tersebut para tokoh pemuda dari
berbagai latar belakang suku dan kebudayaan menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini dicetuskan melalui sumpah pemuda. Dan
baru setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 18 Agustus
Bahasa Indonesia diakui secara Yuridis.
Sumber
:
Ngalimun,
Dwi Wahyu Candra Dewi dan Mahmudi, Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, (Banjarmasin:
Aswaja, 2013), h.1-2.