Selasa, 04 Juli 2017

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT (PARADIGMA PARSIALISTIK, INTEGRALISTIK, DAN SUBORDINATIF)




 HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT

Filsafat Yunani muncul terpisah dari agama Yunani yang penuh dengan khurafat dan mitos. Hal ini berbanding terbalik dengan bangsa Yahudi yang sangat mengagumi filsafat Yunani dan menganggapnya sebagai medan berfikir untuk akal, sambil tetap berpegang pada kitab suci mereka beserta ajaran-ajaran yang terdapat didalamnya. Karena itu, mereka berusaha untuk membungkus keyakinan agama mereka dengan pola filsafat.
Pada abad-abad pertengahan, bangsa Eropa menjadikan filsafat sebagai sarana untuk mengharmoniskan antara akal dengan apa yang dibawa oleh agama. Bahkan para ahli teologi di Barat dan ahli kalam didunia Islam telah menjadikan filsafat sebagai “tameng” pertahanan akidah dengan segala argumentasi rasionalnya.
Namun hubungan antara filsafat dengan agama tidak selalu mulus. Kekuasaan agama selama beberapa lama pernah begitu bengis memusuhi filsafat, contohnya pada masa Islam pada mereka yang fanatik menentang kebebasan berfikir. Saat itu, mereka ingin membelenggu pemikiran manusia sambil menjadikan diri mereka sebagai “panglima” bagi akal (pemikiran). Sesungguhnya mereka mengotori agama dan ajaran-ajaran luhurnya . mereka juga mengkhianati filsafat dan ilmu pengetahuan. Jadi pertentangan yang ada bukanlah antara filsafat dengan agama, tetapi antara filsafat dengan para pemuka agma yang fanatik.
Ciri paling khusus dari filsafat Islam adalah bahwa secara keseluruhan ia merupakan usaha yang diarahkan untuk mengompromikan antara filsafat dan agama. Para filsuf muslim hidup dilingkungan masyarakat Islam dan terpengaruh oleh suasana yang berkembang pada saat itu, jadi mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengkompromikan antara akidah mereka dengan kajian filsafatnya. Seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, namun usaha ini dikritik oleh al-Ghazali dengan alasan bahwa para filsuf muslim telah kompromisasi antara akidah dengan filsafat dalam perspektif pemikiran filsuf-filsuf Yunani mengenai hal-hal yang bersifat metafisika.
Kemudian, muncul Ibnu Rusyd yang membela pandangan para filsuf dari serangan al-Ghazali. Menurutnya, argumentasi-argumentasi serangan al-Ghazali terhadap pemikiran para filsuf tersebut sangat kacau.
Dalam hubungan Agama dan Filsafat mempunyai beberapa paradigma, yang pertama:
1.           Paradigma Parsialistik
Paradigma pertama mengatakan bahwa baik agama maupun filsafat mempunyai metode yang berbeda satu sama lain dalam menggapai kebenaran sehingga dinamakan juga paradigma parsialistik. Dalam kasus agama, pertama-tama kebenaran berpijak pada wahyu atau hadis, lalu diterima dalam hati melalui keyakinan. Kemudian baru diperkuat dengan analisis rasional dan akhirnya diterima kembali oleh hati. Dalam kasus ini, penjelasan filosofis tujuan intrinsiknya bukanlah mencari kebenaran, karena kebenaran sudah dijamin secara mutlak oleh wahyu, melainkan untuk memperkaya kebenaran yang telah disuarakan oleh wahyu.
Dengan alasan inilah, pendekatan spesifik terhadap agama tersebut dinamakan juga pendekatan dogmatis. Artinya, dogma-dogma doktrin fundamental agama yang paling menentukan apa yang disebut kebenaran. Tanpa dukungan akalpun kebenaran yang tampilkan oleh wahyu atau hadis telah memadai, telah lengkap, dan sudah absolut. Dalam pendekatan dogmatis, peran doktrin agama bersifat mutlak dan akal hanya berperan sebagai pembantu yang patuh pada apa saja yang dititahkan oleh wahyu. Pendekatan filsafat sangat berbeda secara diamental dengan pendekatan agama dalam meraih kebenaran. Dalam paradigma filsafat, kebenaran harus dijelajahi melalui kerangka akal, penalaran dan penyelidikan filosofis.
2.           Paradigma Integralistik
Paradigma kedua justru berangkat dari kesepakatan terhadap paradigma pertama, paradigma kedua disebut juga paradigma integratif. Dalam konteks islam, terdapat tiga pendekatan dalam menggapai kebenaran, yakni pendekatan empirikal, pendekatan rasional dan pendekatan spiritual.
Pertama, pendekatan empirikal. Metode observasi yakni melalui pengamatan indrawi, kita dapat mengenal obyek-obyek yang ada disekeliing kita meliputi bentuk, bunyi, bau, raba dan rasanya.
Kedua, pendekatan rasional atau metode demonstratif. Pendekatan rasional menggunakan akal pikiran yang secara spesifik menjadi kajian filosofis dengan seluas-luasnya.
Ketiga, pendekatan spiritual atau metode intuitif. Metode ini lebih banyak menggunakan pendekatan hati atau keimanan. Metode intuitif digunakan untuk menyingkap fenomena-fenomena yeng bersifat abstrak. Supra-rasional, yang berada diluar jangkauan nalar atau disebut juga fenomena gaib.
3.           Paradigma Subordinatif
Paradigma ketiga justru ingin mengingatkan dengan tegas bahwa pendekatan agama lebih holistik dalam mecandra realitas spiritual dan pengalaman pengabdian manusia kepada sang maha pencipta ketimbang pendekatan filsafat. Sebab agama, dengan unsur keyakinan bukan hanya memahami tetapi juga mengalami, sedangkan filsafat hanya berupaya memahami bukan mengalami.


EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...