DEIKSIS
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno
yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi
kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu
baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya
he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks
tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga
merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.
Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan
yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”,
informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks
ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah
yang di sebut deiksis.
Lavinson (1983) memberi contoh berikut
untuk menggambarkan pentingnya informasi deiksis. Misalnya anda menemukan
sebuah botol di pantai berisi surat di dalamnya dengan pesan sebagai berikut :
(1) Meet
me here a week from now with a stick about this big.
Pesan ini tidak memiliki latar belakang
kontekstual sehingga sangat tidak informatif. Karena unkapan deiksis hanya
memiliki makna ketika ditafsirkan oleh pembaca. Pada dasarnya ungkapan deiksis
ini masuk dalam ranah pragmatik. Namun karena penemuan makna ini sangat penting
untuk mengetahui maksud dan kondisi yang sebenarnya maka pada saat yang sama
masuk dalam ranah semantik. Dengan kata lain dalam kasus ungkapan deiksis,
proses pragmatik dalam mencari acuan masuk dalam semantik. Umumnya kita dapat
mengatakan ungkapan deiksis merupakan bagian yang mengacu pada ungkapan yang
berkaitan dengan konteks situasi, wacana sebelumnya, penunjukan, dan sebagainya.
Dalam KBBI (1991: 217), deiksis
diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata
tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki
referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang
Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat
tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna
yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai
lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi
ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara
(Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984:
1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah
atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat
dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah
rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk
kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan
(1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan
pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang
menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan
unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik
yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada
di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat
dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata
atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi
pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk,
pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada
bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula
ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu
disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang
paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur
bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis.
Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini,
sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat
mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat
orientasi deiksis adalah penutur.
Deiksis
ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis
wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40). Selain itu Kaswanti Purwo
(Sumarsono: 2008;60) menyebut beberapa jenis deiksis, yaitu deiksis persona,
tempat, waktu, dan penunjuk. Sehingga jika digabungkan menjadi enam jenis
deiksis. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.
Deiksis Persona
Istilah
persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani
prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara),
berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah
persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan
antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via
Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran
dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang
dibicarakan, dan entitas yanng lain.
Deiksis
orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta
itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan
pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya,
kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara
kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya
kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada
orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak,
misalnya dia dan mereka.
Kata
ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti
bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106).
Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus
mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan
kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat
langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk
pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk
tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung
bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda
dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik
tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk
sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat
endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis
persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat
adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21)
bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat
serta waktu.
Deiksis
perorangan menunjukan subjektivitas dalam struktur semantik. Deiksis perorangan
hanya dapat ditangkap jika kita memahami peran dari pembicara, sumber ujaran,
penerima, target ujaran, dan pendengar yang bukan dituju atau ditarget. Dengan
demikian kita dapat mengganti kata ganti dan kata sifat pada contoh (6) dengan
contoh (7) atau (8) dalam proses ujaran.
(6) “give me
your hand”
(7) “give
him your hand”
(8) “I give
him my hand”
Berikutnya,
penting kiranya melihat jumlah jamak yang berbeda maknanya ketika kita terapkan
pada orang pertama dan orang ketiga. Pada orang pertama, bukan berarti
multiplikasi dari pembicara. Juga, “we” dapat menjadi inklusif atau eksklusif
dari yang ditunjuk. Sistem kata ganti berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa
yang lain karena ragam perbedaan ditambahkan seperti jumlah dua, jenis kelamin,
status sosial, dan jarak sosial. Lebih-lebih, istilah keturunan juga menunjuk
pada deiksis. Misalnya, dalam bahasa Aborigin Australia ada istilah yang
digunakan untuk seseorang yang merupakan bapak pembicara dan merupakan kakek
pembicara. Bapak pembicara yang bukan kakek pembicara akan ditunjukan dengan istilah
yang lain.
Jika
ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke
nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina
menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan
-dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina
ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi
pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang
dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).
Dalam
bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona pertama,
persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9).
Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris
(P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9).
Deiksis Tempat
Deiksis
tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa
bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat
kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk
yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh
penggunaan deiksis tempat.
(8) a.
Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa
di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah
kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau
tempat penjualan yang lain.
Deiksis
tempat menunjukan lokasi relatif bagi pembicara dan yang dibicarakan seperti
pada “ten metres further”, ‘ten miles east of here’, ‘here’, there’. Misalnya
kita dapat mendefinisikan here sebagai unit ruang yang mencakup lokasi
pembicara pada saat dia berujar atau lokasi terdekat pada lokasi pembicara pada
saat berujar yang mencakup tempat yang ditunjuk jika ketika berkata here
diikuti gerakan tangan. Ukuran dari lokasi juga berbeda-beda, yang di pengaruhi
oleh pengetahuan latar belakang. Here dapat berarti kota ini, ruangan ini, atau
titik tertentu secara pasti. Dalam hal kata ganti this dan that, pilihan juga
dapat didiktekan berdasarkan kedekatan emosional (empathy) dan jarak. Hal ini
sering disebut deiksis empathetik. Dalam beberapa budaya, kata ganti
demonstratif ini dapat dibedakan lebih berdasarkan prinsip-prinsip daripada
jarak pembicara, seperti (i) dekat pada yang dibicarakan, (ii) dekat pada
audien, (iii) dekat pada orang yang tidak ikut peristiwa (iv) berdasarkan pada
arah-above-below, atau bahkan (v) kalihatan tidak kelihatan pada pembicara atau
(vi) upriver- downriver dari pembicara, tergantung pada sistem dalam
mengkonseptualisasi ruangan yang digunakan dalam bahasa tertentu. Deiksis
tempat juga dapat menggunakan untuk waktu misalnya dalam contoh (14).
(14) I live
ten minutes from here.
Tidak
selalu mudah untuk memutuskan apakah penggunaan sebuah unngkapan itu deiksis
atau non deiksis misalnya pada contoh (15). Pohon dapat berada di belakang
mobil atau tertutup pandangan karena terhalang oleh mobil
(15) The
tree is behind the car.
Seperti
halnya pada contoh (16), anak laki-laki bisa berada di sisi kiri Tom atau di
kiri Tom dari sudut acuan pembicara.
(16) The boy
is to the left of Tom
Deiksis Waktu
Deiksis
waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan
penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu
ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41).
Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.
(9) a. “I
bought a book”.
b. “I am
buying a book”.
Meskipun
tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu
sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih
terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya,
yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:
(10) a. “I
bought the book yesterday”.
b. “I bought
the book 2 years ago”.
Deiksis
waktu juga ditujukan pada partisipan dalam wacana. “Now” berarti waktu dimana
pembicara sedang menghasilkan ujaran. Waktu pengujaran berbeda dari waktu
penerimaan, meskipun dalam prakteknya peristiwa berbicara dan menerima
memungkinkan berdekatan atau kotemporal. Pusat deiksis dapat ditujukan pada
yang dibicarakan sebagaimana yang didiskusikan dalam contoh (9). “Now” mengacu
pada waktu dimana yang dibicarakan mempelajari kebenaran, yang diikuti dengan
waktu dimana pengarang mengungkapkan pesan.
(9) “You
know the truth now. I knew it a week ago, so I wrote this letter”.
Hal
menarik yang lain untuk diperhatikan adalah istilah “ today, tomorrow,
yesterday” apakah mengacu pada hari keseluruhan atau pada saat tertentu, sebuah
episode pada hari itu, seperti pada contoh (10) dan (11) berikut:
(10)
“Yesterday was Sunday”.
(11) “I fell
off my bike yesterday”.
Jumlah
hari secara deiksis juga berbeda dari bahasa satu ke bahasa yang lain: bahasa
Jepang memiliki tiga hari ke belakang dari “today” dan dua hari ke depan.
Waktu
adalah paling mempengaruhi kalimat menjadi deiksis. Penting kiranya untuk
membedakan antara gramatical tenses dan semantic temporallity. Misalnya,
kalimat (12) dan (13) adalah non deiksis dan atemporal, meskipun kalimat
tersebut memiliki nilai gramatikal.
(12) “A
whale is a mammal”.
(13) “Cats
like warmth”.
Deiksis Wacana
Deiksis
wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah
diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup
anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang
telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi.
Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang
dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang
terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a.
“Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”.
b. “Karena
aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli”.
Dari
kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke
paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke
mangga yang disebut kemudian.
Deiksis Sosial
Deiksis
sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang
mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan
dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara
pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem
morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya,
memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau
kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi
bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan
kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem
bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau
sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan
berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan,
1987: 42-43).
Deiksis Penunjuk
Di
dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini
untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu untuk menunjuk
sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang
melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam
kalimat-kalimat berikut.
Masalah ini harus kita selesaikan segera.
Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih
kecil.
Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh
di atas menunjukan, penggunaan deiksis ini dan itu tampaknya bergantung kepada
sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia “merasa” sesuatu itu
dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, sebaliknya itu digunakan untuk
menyatakan sesuatu yang jauh darinya.
Banyak
bahasa mempunyai deiksis jenis ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan
ini dan itu tadi. Bahasa jawa mengenal iki untuk sesuatu yang dekat dengan
penutur dan iku dan kuwi untuk sesuatu yang tidak dekat tetapi tidak terlalu
jauh, dan iko dan kae untuk yang sangat jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak
Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Sumarsono. 2008. Buku Ajar Pragmatik. Singaraja: Undiksha
Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
______. 1993. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung”. Bahan
Penataran Linguistik I, Unika Atma Jaya, Jakarta, 4-17 November 1993.
______. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan
M.D.D. Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.