ALIH KODE (CODE SWITCHING) DAN CAMPUR KODE (CODE MIXING)
Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa
Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah.
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language
dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat
sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode
masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan
konteksnya.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep
alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam
bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan
kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko,
dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi
bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena
adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa
suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau
tingkat formalitas interaksi para penutur.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa alih kode merupakan gejala
peralihan pemakaian bahasa karena perubahan
peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan
antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua
bahasa atau lebih.
Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti
latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung
satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergensi kebahasaan (linguistic convergence).
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan
campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu
bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk
di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan
(1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang
mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa
yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang
berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang
terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya
disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat
dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa
lain (bahasa asing).
Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur
Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah
kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata,
yaitu alih kode terjadi pada masing-masing bahasa yang digunakan dan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena
sebab-sebab tertentu. Campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat
dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa
fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Jika dalam alih kode digunakan dua bahasa
otonom secara bergantian maka dalam campur kode sebuah unsur bahasa lain hanya
menyisip atau disisipkan pada sebuah bahasa yang menjadi kode utama atau kode
dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan
atau dalam sebuah ceramah agama, pembicara menyisipkan unsur-unsur bahasa Arab
yang memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Dengan
kata lain, dalam campur kode, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda.
Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk
menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor
situasional. Sedangkan alih kode lebih banyak berkaitan dengan aspek
situasional.
Faktor yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan
oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan
dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif.
Hymes mengemukakan 16 komponen tutur yang
kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam bahasa Inggris yaitu
SPEAKING
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P = Partisipan, mencakup penutur, pengirim,
pendengar, dan penerima.
E = End
(tujuan), mencakup bentuk pesan dan
isi pesan.
A = Act
Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K = Key ( kunci)
I = Instrumentalities
(piranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.
N = Norms
(norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G = Gender (Sumarsono, 2007: 335)
Berdasarkan
pendapat Hymes tersebut maka dapat dikaji bahwa alih kode dan campur kode terjadi
karena faktor-faktor berikut :
1. Penutur dan
Pribadi Penutur
Dalam suatu peristiwa tutur, penutur
kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai
maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi
pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi
non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara tak jarang pula
melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan
atau karena rasa ingin menonjolkan identitasnya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya
sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila
mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih
bahasa. Misalnya seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat
beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai
latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan
seorang atasan melakukan campur kode yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan
disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi
dengan maksud untuk menghormati.
3. Hadirnya
Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati
kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode,
apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Dalam situasi ini,
kadang alih kode juga digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak ingin
dimengerti oleh penutur ketiga.
4. Tempat Tinggal
dan Waktu Tuturan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah pasar,
misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang
begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode.
Seorang penjual di sebuah pasar yang multilingual ketika dia berbicara dengan
pembeli yang memliiki etnik akan cenderung menggunakan bahasa daerah yang sama dalam transaksinya tetapi ketika
hadir pembeli lain dia pun akan cepat beralih kode ke dalam bahasa yang lain
dan kadang juga tanpa disadari melakukan campur kode antara bahasa pertama dan
bahasa kedua yang digunakannya
5. Topik/Pokok
Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor
yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan
serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Sebaliknya dalam topik
pembicaraan yang formal dan ilmiah kerap terjadi campur kode ketika seorang
pembicara tidak menemukan ungkapan atau padanan yang mampu mewakili gagasan
dalam bahasa pengantarnya atau campur kode sengaja kerap dilakukan saat
pembicara ingin menonjolkan pribadinya.
Sources :
Alwasilah,
Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa.
Bandung : Angkasa.
Holmes,
Janet, 2001. An Introduction to
Sociolinguistics (ed). Edinburgh. Person Education Limited
Kridalaksana,
Harimurti. 1982. Pengantar Sosiolinguistik.
Bandung : Angkasa.
Nababan,
P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sumarsono.
2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.