Selasa, 24 Mei 2016

ALIH KODE (CODE SWITCHING) DAN CAMPUR KODE (CODE MIXING)



ALIH KODE (CODE SWITCHING) DAN CAMPUR KODE (CODE MIXING)

Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah.  Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan  masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan  peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergensi kebahasaan (linguistic convergence).
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).

Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi pada masing-masing bahasa yang digunakan dan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu. Campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Jika dalam alih kode digunakan dua bahasa otonom secara bergantian maka dalam campur kode sebuah unsur bahasa lain hanya menyisip atau disisipkan pada sebuah bahasa yang menjadi kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan atau dalam sebuah ceramah agama, pembicara menyisipkan unsur-unsur bahasa Arab yang memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia.
 Dengan kata lain, dalam campur kode, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional. Sedangkan alih kode lebih banyak berkaitan dengan aspek situasional.

Faktor  yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif.
Hymes mengemukakan 16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam bahasa Inggris yaitu SPEAKING
S    = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P    = Partisipan, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima.
E    = End  (tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A   = Act Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K   = Key ( kunci)
I     = Instrumentalities (piranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.
N   = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G   = Gender (Sumarsono, 2007: 335)   

Berdasarkan pendapat Hymes tersebut maka dapat dikaji bahwa alih kode dan campur kode terjadi karena faktor-faktor berikut :
1.            Penutur dan Pribadi Penutur
Dalam suatu peristiwa tutur, penutur kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara tak jarang pula melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau karena rasa ingin menonjolkan identitasnya.
2.            Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Misalnya seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan melakukan campur kode yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati.
3.            Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Dalam situasi ini, kadang alih kode juga digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak ingin dimengerti  oleh penutur ketiga.
4.            Tempat Tinggal dan Waktu Tuturan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah pasar, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Seorang penjual di sebuah pasar yang multilingual ketika dia berbicara dengan pembeli yang memliiki etnik akan cenderung menggunakan bahasa daerah  yang sama dalam transaksinya tetapi ketika hadir pembeli lain dia pun akan cepat beralih kode ke dalam bahasa yang lain dan kadang juga tanpa disadari melakukan campur kode antara bahasa pertama dan bahasa kedua yang digunakannya
5.            Topik/Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Sebaliknya dalam topik pembicaraan yang formal dan ilmiah kerap terjadi campur kode ketika seorang pembicara tidak menemukan ungkapan atau padanan yang mampu mewakili gagasan dalam bahasa pengantarnya atau campur kode sengaja kerap dilakukan saat pembicara ingin menonjolkan pribadinya.

Sources :
Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.
Holmes, Janet, 2001. An Introduction to Sociolinguistics (ed). Edinburgh. Person Education Limited
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...