Jumat, 22 April 2016

TEORI KETERGANTUNGAN



Teori Ketergantungan
Teori Ketergantungan (Dependency Theory) merupakan teori yang dikemukakan pertama kali oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti halnya teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pencetus teori ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Ketergantungan dapat diartikan sebagai hubungan seseorang yang tergantung kepada orang lain atau masyarakat. Teori ketergantungan berhubungan erat dengan media. Teori ketergantungan dengan media ini merupakan teori tentang komunikasi massa yang menyatakan bahwa semakin seseorang tergantung pada suatu media untuk memenuhi kebutuhannya, maka media tersebut menjadi semakin penting untuk orang itu. Teori ini memperkenalkan model yang menunjukan hubungan integral tak terpisahkan antara pemirsa, media dan sistem sosial yang besar.
Konsisten dengan teori-teori yang menekankan pada pemirsa sebagai penentu media, model ini memperlihatkan bahwa individu bergantung pada media untuk pemenuhan kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka tidak bergantung pada banyak media dengan porsi yang sama besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa seseorang tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan seseorang bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa seseorang tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Dikemukakannya ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, seseorang akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan seseorang bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Contoh, bila kita menyukai dangdut, maka kita akan menyaksikan dangdut academy di Indosiar dan kita kemungkinan sama sekali tidak peduli berita tentang politik di Metro maupun TvOne.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan seseorang dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi seseorang untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Sebagai contoh, bila negara dalam keadaan tidak stabil, kita akan lebih bergantung atau percaya pada koran untuk mengetahui informasi jumlah korban bentrok fisik antara pihak keamanan dan pengunjuk rasa, sedangkan bila keadaan negara stabil, ketergantungan seseorang akan media bisa turun dan individu akan lebih bergantung pada institusi-institusi negara atau masyarakat untuk informasi. Sebagai contoh di Malaysia dan Singapura dimana penguasa memiliki pengaruh besar atas pendapat rakyatnya, pemberitaan media membosankan karena segala sesuatu tidak bebas untuk digali, dibahas, atau dibesar-besarkan, sehingga masyarakat lebih mempercayai pemerintah sebagai sumber informasi mereka.
Sumber pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata, tetapi juga memperhitungkan aliran dan model apa yang dipakai. Aliran yang dipakai antara lain aliran proses dan semiotika. Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap seseorang, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

Tinjauan Teori Ketergantungan
Teori ini menekankan ketergantungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap timbal balikantar institusi yang memegang kekuasaan dan integasi media terhadap kekuasaan sosial dan otoritas. Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain, menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya.
Teori ketergantungan memberi kedudukan terhormat kepada media sebagai penggerak Teori ini juga sangat mengunggulkan gagasan yang menyatakan bahwa media menyuguhkan pandangan tentang dunia, semacam pengganti atau lingkungan semu (pseudo-environment) yang disatu pihak merupakan sarana ampuh untuk memanipulasi orang, tetapi di lain pihak merupakan alat bantu bagi kelanjutan ketenangan psikisnya dalam kondisi yang sulit dalam menentukan sebuah pilihan.
Pandangan Klasik Marxisme dikemukan bahwa media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penangannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas sosial terseut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke terciptanya kesadaran kelas pekerja akan kepentingannya.
Masyarakat dan media merupakan kedua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibaratkan dua sisi koin yang berbeda tetapi satu.  Dalam berbagai persepsi yang berbeda-beda akan tetapi makna dari kedua sisi tersebut tetap satu dan sulit untuk dipisahkan, bahkan bisa dikatakan sebagai hal yang mustahil. Ada beberapa dari mereka yang mengatakan dan memahami bahwa masyarakatlah yang membentuk media dan ada juga dari mereka yang beranggapan berbeda bahwa medialah yang mengontrol masyarakat. Kedua pemahaman tersebut memanglah cukup berbeda, akan tetapi maknanya tetap sama yakni masyarakat dan media adalah kedua hal yang berbeda tapi tidak dapat terpisahkan, yang sama halnya seperti dua sisi koin.
Berangkat dari hal tersebut pendekatkannya kepada teori ketergantungan  dan teori uses and gratification yang dikemukakan oleh para ahli. Teori pertama digunakan untuk pahami lebih jelas menyangkut ketergantungan masyarakat dan media tersebut adalah teori ketergantungan. Didalam karya-karya yang banyak ditulis oleh beberapa ahli, yang mengemukakan Teori ketergantungan adalah teori yang menekankan ketergantungan timbal-balik antara intitusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas.
Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun media tetap memiliki kecendrungan untuk publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Yang artinya dalam pemahaman saya menyangkut teori ini adalah, mereka para kelompok masyarakat elit yang mempunyai kekuasaan dapat mengintervensi media-media untuk menyuguhkan berita-berita yang baik untuk mereka kepada masyarakat. Dan bahkan bisa memutar balikan fakta terkait persoalan mereka di ranah publik atau mencoba untuk mengalihkan isu terkait rezimnya agar publik seakan lupa dengan persoalan tersebut. Dan kiranya realitas dari teori ini banyak terjadi dan ditemukan di bangsa ini. Melaui teori ketergantungan tersebut diatas, kiranya dapat dihubungkan dengan kasus yang cukup relevan dengan teori tersebut.
Contoh kasus yang dapat diambil adalah yang terjadi pada salah satu mantan anggota polri yang terkenal lewat video clipsing nya di dunia maya. Norman Kamaru yang pada saat itu merupakan anggota Korps Brimob Polri daerah Gorontalo, bergoyang dan menyanyikan lagu india dengan masih menggunakan baju dinasnya yang kemudian tersebar kedunia maya. Karena respon masyarakat terhadap video Norman tersebut sangat positif dan membuat berbagai kalangan masyarakat sangat mengaguminya, membuat intitusi polri pun bergerak cepat dengan mengundang dan menghadirkan Norman ke Jakarta.
Setelah datangnya Norman di Jakarta untuk memenuhi panggilan Kapolri, Norman pun menjadi sorotan berbagai media. Sangat aneh jika seorang anggota Polri yang dikenal institusi ini sangat begitu disiplin bisa mengizinkan Norman untuk tidak berdinas di daerah dinasnya yakni di Gorontalo. Norman malah diizinkan untuk memenuhi berbagai panggilan acara di sejumlah media baik itu elektronik dan cetak, dan jumlah bayaran yang diterimanya bisa dibilang angat fantastis. Siapa yang tau kalau ini merupakan strategi institusi polri untuk mengembalikan citranya yang sudah tercoreng di mata masyarakat akibat kasus rekening gendut di tubuh polri. Ditengah tercorengnya polri dimata masyarakat dan publil akibat kasus rekening gendut tersebut, yang membuat kalangan masyarakat menilai lembaga yang diharapkan sebagai lembaga/institusi yang dapat mengawasi dan memberikan rasa nyaman dimasyarakat, akan tetapi diinternalnya mereka pun terjadi penyelewangan. Kalau yang mengawasi sama yang diawasi sudah sama-sama menyimpang, mau dibawa kemana negara ini. Itulah kiranya persepsi atau opini yang terbangun dimasyarakat. Dan hal tersebut dikarenakan media yang berhasil selalu memantau perkembangan kasus tersebut.
Oleh karena itu, kemunculan Norman Kamaru dengan baju dinas instansi polrinya di youtube sambil bergoyang India dan sangat direspon positif oleh masyarakat membuat institusi polri memanfaatkan momen tersebut sebagai alat atau fasilitas untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi mereka. Norman pun seperti alat mereka untuk mengembalikan citra mereka tesebut, dengan diikinkannya Norman menerima berbagai macam kontrak kerja di berbagai acara-acara di stasiun TV. Dan penampilan Norman di media-media pun selalu mengenakan seragam lengkap institusinya. Hingga persepsi yang terbangun di masyarakat adalah polisi itu sopan, menyenangkan dan bisa menghibur masyarakat, sehingga masyarakat pada saat itu seakan lupa dengan kasus rekening gendut yang terjadi ditubuh polri. Kenapa media bisa dengan begitu persuasifnya menyorot dan memberitakan Norman Kamaru. Hal ini tentunya merupakan stategi intitusi polri untuk mengalihkan isu terkait kasus yang mencoreng institusinya beberapa waktu yang lalu. Intitusi polri yang tercoreng dan menjadi bahan pemberitaan berbagai media pada saat itu, ketika kehadiran Norman Kamaru menjadikannya sebagai alat pencitraan mereka kembali. Melalui media kembali polri mengembalikan citranya, karena media mampu membangun persepsi masyarakat dan hal itu tidak lepas dari intervensi intitusi yang bersangkutan.
Kesimpulannya adalah media mampu membangun persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal, dan pembangunan persepsi tersebut jelas sangat berkaitannya dengan para pemegang kekuasaan yang ada. Ketika media membangun persepsi tentang hal-hal yang buruk terhadap masyarakat oleh pemegang kekuasan, maka pemegang kekuasaan akan berusaha mengembalikan atau membalikan persepsi tersebut melalui media pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EMPAT JENIS PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter dalam satuan pendidikan meliputi pembelajaran di kelas, kegiatan sehari-hari di sekolah (kultur sekolah), dan kegiatan...