Teori
Ketergantungan
Teori
Ketergantungan (Dependency Theory)
merupakan teori yang dikemukakan pertama kali oleh Sandra Ball-Rokeach dan
Melvin Defleur. Seperti halnya teori uses and gratifications, pendekatan ini
juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi
kelemahan ini, pencetus teori ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih
jauh. Ketergantungan dapat diartikan sebagai hubungan seseorang yang tergantung
kepada orang lain atau masyarakat. Teori ketergantungan berhubungan erat dengan
media. Teori ketergantungan dengan media ini merupakan teori tentang komunikasi
massa yang menyatakan bahwa semakin seseorang tergantung pada suatu media untuk
memenuhi kebutuhannya, maka media tersebut menjadi semakin penting untuk orang
itu. Teori ini memperkenalkan model yang menunjukan hubungan integral tak
terpisahkan antara pemirsa, media dan sistem sosial yang besar.
Konsisten
dengan teori-teori yang menekankan pada pemirsa sebagai penentu media, model
ini memperlihatkan bahwa individu bergantung pada media untuk pemenuhan
kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka tidak bergantung pada
banyak media dengan porsi yang sama besar.
Sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa seseorang tergantung kepada informasi yang berasal dari
media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan seseorang bersangkutan serta
mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi
bahwa seseorang tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Dikemukakannya
ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, seseorang akan menjadi lebih
tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan seseorang bersangkutan
dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Contoh,
bila kita menyukai dangdut, maka kita akan menyaksikan dangdut academy di
Indosiar dan kita kemungkinan sama sekali tidak peduli berita tentang politik
di Metro maupun TvOne.
Sumber
ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem
media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan seseorang dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi
seseorang untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang
menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Sebagai contoh, bila
negara dalam keadaan tidak stabil, kita akan lebih bergantung atau percaya pada
koran untuk mengetahui informasi jumlah korban bentrok fisik antara pihak
keamanan dan pengunjuk rasa, sedangkan bila keadaan negara stabil,
ketergantungan seseorang akan media bisa turun dan individu akan lebih
bergantung pada institusi-institusi negara atau masyarakat untuk informasi.
Sebagai contoh di Malaysia dan Singapura dimana penguasa memiliki pengaruh
besar atas pendapat rakyatnya, pemberitaan media membosankan karena segala
sesuatu tidak bebas untuk digali, dibahas, atau dibesar-besarkan, sehingga
masyarakat lebih mempercayai pemerintah sebagai sumber informasi mereka.
Sumber
pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata,
tetapi juga memperhitungkan aliran dan model apa yang dipakai. Aliran yang
dipakai antara lain aliran proses dan semiotika. Untuk mengukur efek yang
ditimbulkan media massa terhadap seseorang, ada beberapa metode yang dapat
digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
Tinjauan Teori Ketergantungan
Teori ini
menekankan ketergantungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan
dan integrasi media terhadap timbal balikantar institusi yang memegang
kekuasaan dan integasi media terhadap kekuasaan sosial dan otoritas. Dengan
demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik
dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan
pandangan kritis atau tinjauan lain, menyangkut masalah kehidupan, media tetap
memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya
sebagaimana adanya.
Teori ketergantungan
memberi kedudukan terhormat kepada media sebagai penggerak Teori ini juga
sangat mengunggulkan gagasan yang menyatakan bahwa media menyuguhkan pandangan
tentang dunia, semacam pengganti atau lingkungan semu (pseudo-environment) yang
disatu pihak merupakan sarana ampuh untuk memanipulasi orang, tetapi di lain
pihak merupakan alat bantu bagi kelanjutan ketenangan psikisnya dalam kondisi
yang sulit dalam menentukan sebuah pilihan.
Pandangan
Klasik Marxisme dikemukan bahwa media merupakan alat produksi yang disesuaikan
dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan
produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penangannya
dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi
kepentingan kelas sosial terseut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan
mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh
keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis
dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain
yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke
terciptanya kesadaran kelas pekerja akan kepentingannya.
Masyarakat
dan media merupakan kedua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibaratkan dua sisi
koin yang berbeda tetapi satu. Dalam
berbagai persepsi yang berbeda-beda akan tetapi makna dari kedua sisi tersebut
tetap satu dan sulit untuk dipisahkan, bahkan bisa dikatakan sebagai hal yang
mustahil. Ada beberapa dari mereka yang mengatakan dan memahami bahwa
masyarakatlah yang membentuk media dan ada juga dari mereka yang beranggapan
berbeda bahwa medialah yang mengontrol masyarakat. Kedua pemahaman tersebut
memanglah cukup berbeda, akan tetapi maknanya tetap sama yakni masyarakat dan
media adalah kedua hal yang berbeda tapi tidak dapat terpisahkan, yang sama
halnya seperti dua sisi koin.
Berangkat
dari hal tersebut pendekatkannya kepada teori ketergantungan dan teori uses and gratification yang
dikemukakan oleh para ahli. Teori pertama digunakan untuk pahami lebih jelas
menyangkut ketergantungan masyarakat dan media tersebut adalah teori
ketergantungan. Didalam karya-karya yang banyak ditulis oleh beberapa ahli,
yang mengemukakan Teori ketergantungan adalah teori yang menekankan
ketergantungan timbal-balik antara intitusi yang memegang kekuasaan dan
integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas.
Dengan
demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik
dan ekonomi. Namun media tetap memiliki kecendrungan untuk publik bebas dalam
menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Yang artinya dalam pemahaman saya
menyangkut teori ini adalah, mereka para kelompok masyarakat elit yang
mempunyai kekuasaan dapat mengintervensi media-media untuk menyuguhkan
berita-berita yang baik untuk mereka kepada masyarakat. Dan bahkan bisa memutar
balikan fakta terkait persoalan mereka di ranah publik atau mencoba untuk
mengalihkan isu terkait rezimnya agar publik seakan lupa dengan persoalan
tersebut. Dan kiranya realitas dari teori ini banyak terjadi dan ditemukan di
bangsa ini. Melaui teori ketergantungan tersebut diatas, kiranya dapat
dihubungkan dengan kasus yang cukup relevan dengan teori tersebut.
Contoh kasus
yang dapat diambil adalah yang terjadi pada salah satu mantan anggota polri
yang terkenal lewat video clipsing nya di dunia maya. Norman Kamaru yang pada
saat itu merupakan anggota Korps Brimob Polri daerah Gorontalo, bergoyang dan
menyanyikan lagu india dengan masih menggunakan baju dinasnya yang kemudian
tersebar kedunia maya. Karena respon masyarakat terhadap video Norman tersebut
sangat positif dan membuat berbagai kalangan masyarakat sangat mengaguminya,
membuat intitusi polri pun bergerak cepat dengan mengundang dan menghadirkan
Norman ke Jakarta.
Setelah
datangnya Norman di Jakarta untuk memenuhi panggilan Kapolri, Norman pun
menjadi sorotan berbagai media. Sangat aneh jika seorang anggota Polri yang
dikenal institusi ini sangat begitu disiplin bisa mengizinkan Norman untuk
tidak berdinas di daerah dinasnya yakni di Gorontalo. Norman malah diizinkan
untuk memenuhi berbagai panggilan acara di sejumlah media baik itu elektronik
dan cetak, dan jumlah bayaran yang diterimanya bisa dibilang angat fantastis.
Siapa yang tau kalau ini merupakan strategi institusi polri untuk mengembalikan
citranya yang sudah tercoreng di mata masyarakat akibat kasus rekening gendut
di tubuh polri. Ditengah tercorengnya polri dimata masyarakat dan publil akibat
kasus rekening gendut tersebut, yang membuat kalangan masyarakat menilai
lembaga yang diharapkan sebagai lembaga/institusi yang dapat mengawasi dan
memberikan rasa nyaman dimasyarakat, akan tetapi diinternalnya mereka pun
terjadi penyelewangan. Kalau yang mengawasi sama yang diawasi sudah sama-sama
menyimpang, mau dibawa kemana negara ini. Itulah kiranya persepsi atau opini
yang terbangun dimasyarakat. Dan hal tersebut dikarenakan media yang berhasil
selalu memantau perkembangan kasus tersebut.
Oleh karena
itu, kemunculan Norman Kamaru dengan baju dinas instansi polrinya di youtube
sambil bergoyang India dan sangat direspon positif oleh masyarakat membuat
institusi polri memanfaatkan momen tersebut sebagai alat atau fasilitas untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi mereka. Norman pun
seperti alat mereka untuk mengembalikan citra mereka tesebut, dengan
diikinkannya Norman menerima berbagai macam kontrak kerja di berbagai
acara-acara di stasiun TV. Dan penampilan Norman di media-media pun selalu
mengenakan seragam lengkap institusinya. Hingga persepsi yang terbangun di
masyarakat adalah polisi itu sopan, menyenangkan dan bisa menghibur masyarakat,
sehingga masyarakat pada saat itu seakan lupa dengan kasus rekening gendut yang
terjadi ditubuh polri. Kenapa media bisa dengan begitu persuasifnya menyorot
dan memberitakan Norman Kamaru. Hal ini tentunya merupakan stategi intitusi
polri untuk mengalihkan isu terkait kasus yang mencoreng institusinya beberapa
waktu yang lalu. Intitusi polri yang tercoreng dan menjadi bahan pemberitaan
berbagai media pada saat itu, ketika kehadiran Norman Kamaru menjadikannya
sebagai alat pencitraan mereka kembali. Melalui media kembali polri
mengembalikan citranya, karena media mampu membangun persepsi masyarakat dan
hal itu tidak lepas dari intervensi intitusi yang bersangkutan.
Kesimpulannya
adalah media mampu membangun persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal, dan
pembangunan persepsi tersebut jelas sangat berkaitannya dengan para pemegang
kekuasaan yang ada. Ketika media membangun persepsi tentang hal-hal yang buruk
terhadap masyarakat oleh pemegang kekuasan, maka pemegang kekuasaan akan
berusaha mengembalikan atau membalikan persepsi tersebut melalui media pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar